.jpg)
*Tanjidor Mudaria Warisan Leluhur Sungai Pinang
Kekuatan seni yang mengalir turun temurun menimbulkan kecintaan yang mendalam, karena dapat mempertahan seni musik peninggalan zaman Belanda dengan masa kejayaannya di awal kemerdekaan Indonesia.
Irhandi Kasmara, Musi Rawas
TANJIDOR merupakan musik instrumentalia sudah cukup dikenal masyarakat pedesaan Kabupaten Musi Rawas, sejak zaman pergolakan menumpas penjajah belanda hal ini dibuktikan dengan grup Tanjidor Mudaria yang berdiri sejak 1930.
Peralatan musik, clarinet, seksopon, trompet Sektenor, Alto dan juga Dramdidor yang berpadu menghasilkan paduan nada- nada instrumen lagu dari alat tiup serta dram ini dikenal juga seperti Drambend saat ini.
Alat- alat musik yang di bawah olehAlm Aik ke desa Sungai Pinang kecamatan Muara lakitan tersebut kini masih bertahan hingga dipimpin generasi ketiga, M Nasir Ujud (56) yang mewarisi tanjidor ini dari Alm, Arip ayahnya pemimpin tanjidor generasi.
“Seluruh pemain Tanjidor yang berjumlah 15 orang ini merupakan keluarga yang seluruh mewarisi keahlian memainkan alat musik secara turun temurun ,” kata M nasir ujud.
Setiap pemain yang memainkan alat musik mengurusi sendiri alat musik yang dimankannya masing –masing dan ada juga yang di bawa pulang dan juga ada yang dikumpulkan di rumahnya.
Apa bila saat ada tanggapan dan tampil pada sat pesta hajatan maupun dipanggil untuk mengisi acara pada perayaan hari besar maupun menyambut tamu yang mengunjung kabupaten Musi Rawas mereka baru berlatih bersama untuk menjaga kekompakan memainkan alat Musik.
Pemain yang memegang alat musik tersebut berlatih menyelaraskan nada sesuai peralatan musik sehingga menimbulkan nada yang padu dengan membawakan lagu-lagu daerah dan juga lagu melayu bahkan lagu dangdut.
Namun yang utama mereka mereka memankan instrument lagu-lagu daerah seperti Bumi Silampari, Burung Putih, Mare- mare, dan juga Dempo Awang dan juga lagu daerah lainya yang memang peninggalan leluhur.
Diakuinya memang tidak ada tangga nada serta not balok yang mereka pelajari namun nada yang dikeluarkan tersebut selaras sesuai dengan lagu yang memang sudah baku dan setiap pemain sudah menguasainya sehingga dalam penampilan mereka kompak dalam pengaturan nada.
Dikisahkan Nasir, dari sejak generasi pertama pemain Tanjidor Mudaria hingga saat ini berpropesi utama sebagai petani dan menjadi mejadi pemusik ini hanya kecintaan terhadap seni yang memang terus megalir didalam keluarganya.
“ Saat ini saja anak-anak mereka sudah ada meguasai peratana musik ini dan meneruskan generasi tanjidor Muadaria,”katanya.
Dilanjutkannnya, kehidupan seni ini bukan merupakan penghasilan utama mereka karena penghasilan yang di dapat belum manpu menyukupi kebutuhan keluarga serta biaya anak sekolah.
Namun mereka terus bertahan karena tanjidor yang juga dikenal didaerah musik gonang ini cukup dicintai di pedesaan di Musi Rawas hingga saat ini sehingga mereka tidak pernah sepi dari permintaan tampil dalam pesta hajatan untuk mengiringi arakan pengantin.
Diakunya,hapir setiap minggu mereka tampil dan apa bila tampil diluar daerah seperti kelubuklinggau mereka mendapat bayaran Rp 2 juta rupiah dan dibagi kepada pemain yang rata-rata setiap pemain kan mendapatkan pendapatan Rp 150 ribu- hingga Rp 20 ribu dalam setiap pementasan.
Dengan penghasilan yang di dapat ini juga tidaklah membuatnya senang karena ada kegusaran dalam lubuk hatinya karena tanjidor saat ini seakan tenggelam dalam alunan musik house dan juga orgentunggal yang memang sudah mengusai kepelosok-plosok desa seiring derasnya pengaruh narkoba yang seakan akan mengeser budaya yang ditinggalkan leluhur.
“ Terkadang kami tampil hanya sebagai pelengkap karena saat ini anak-anak muda hampir melupakan budaya mereka terpengaruh dengan budaya luar yang mereka tidak mengerti hanya untuk mendapat predikat gaul,” katanya mengeluh ,mengakhiri perbincangan.
Sementara itu Munzer Hernandes Staf Humas Setda Musi Rawas mengakui bahwa kejayaan Tanjidor Mudaria ini di Musi Rawas, karena pada saat acara persedekahan Khitanan dirinyapun orang tuanya menanggap tanjidor Mudaria untuk menghibut tamu yang hadir saat itu.
“Mendengarkan tanjidor Mudaria ini mengingatkan masa kecilku saat dikhitan yang pelaksanaanya kalau tidak salah pada tahun 1965 dan pada waktu itu Tanjidor ini sangat ngetop,” katanya.(*)




0 komentar