*Kuntau Tetap Dilestarikan Masyarakat Pedesaan
Seni bela diri Kuntau tetap dipertahankan di daerah pedesaan. Seperti dilakukan masyarakat Desa Sungai Kijang, Kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Musi Rawas, yang mempertunjukkan Kuntau dihadapan para tamu pada suatu acara. Berikut laporannya.
Budi Santoso, Sungai Kijang
SUARA gamelan dan gong mengiringi gerakan dua orang pria tersebut. Mereka bergerak lincah ditengah-tengah kerumuman para penonton menyaksikan dengan antusias. Pria itu begitu lincah seperti melakukan gerakan silat dengan gerakan tangan dan kaki menerjang lawannya.
Suara musik terus menggema membuat siang yang panas itu seakan tak dirasakan para penonton. Atraksi terus berlanjut hingga beberapa menit. Di dekat mereka ada Bupati Musi Rawas, H Ridwan Mukti dan rombongan tim terpadu komunitas adat terpencil yang sengaja datang untuk melakukan kunjungan kerja (Kunker) di sana.
Mereka terus bergerak saling menyerang. Dan tak lama kemudian musik berhenti hingga gerakan mereka menjadi melambat. Selesai dengan tetes keringat membasuhi baju mereka. Dan setelah itu mereka menyalami Bupati Ridwan Mukti yang berdiri gagah di dekat mereka. Itulah salah satu ritual penyambutan tamu di Desa Sungai Kijang. Seni Kuntau yang sudah lama ini tetap dipertahankan mereka di dalam pergaulan. Kuntau memang dilestarikan di Desa Sungai Kijang.
Seperti dikemukakan Kobli, mantan Kepala Dusun (Kadus) Sungai Kijang yang tetap melatih anggota perkumpulan Kuntau Sungai Kijang. “Seni Kuntau ini sudah lama ada di sini diaktifkan masyarakat Sungai Kijang. Pada masa penjajahan dipergunakan Suku Anak Dalam (SAD) untuk melawan penjajah, karena mereka tidak mau dijajah bangsa lain,” papar pria berusia 55 tahun ini, kemarin. Ia meneruskan Kuntau ini sudah ada sejak jaman nenek moyang dulu lebih condong kepada ilmu bela diri dipakai masyarakat setempat.
“Sampai sekarang perguruan Kuntau Sungai Kijang masih ada. Kita melatih 8 orang murid yang mau berguru untuk belajar Kuntau ini. Mereka dilatih dua orang guru yaitu saya dan A Rahman,” papar Kobli yang mengenakan kopiah. Suami Nurhayati yang dikaruniai 8 anak ini menambahkan, apabila dulu Kuntau dipergunakan warga untuk menjaga desa mengusir para penjajah, sekarang Kuntau dipertunjukkan dihadapan orang banyak pada acara-acara seremonial. “Zaman dulu dan sekarang memang berbeda karena sekarang seni Kuntau dipertunjukkan pada pembukaan acara pemerintahan atau lainnya,” imbuh kakek yang memiliki 22 cucu ini. Namun, ia yakin dengan melestarikan seni Kuntau ini membuatnya tetap dikenang masyarakat. (*)
0 komentar